Psikoedukasi

Psikoedukasi: Inovasi Pendidik di Tengah Pandemi

Oleh Rico Aditama,S.Hum

Pandemi Covid-19 menuntut masyarakat selalu waspada. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, menguatkan bahwa menggunakan masker, cuci tangan, dan menjaga jarak, wajib terus dilakukan.

Di beberapa daerah yang masih menjadi zona merah (red zone), himbauan ini diperkeras dengan hukuman sosial sampai hukuman denda. Salah satu wilayah yang menerapkan hal ini adalah DKI Jakarta, melalui Peraturan Gubernur No 33/2020. Isinya adalah tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Wilayah DKI Jakarta (Bab IV terkait dengan pelaksanaan umum PSBB dan Bab V terkait dengan hak dan kewajiban warga). Hal ini dilakukan karena masih banyak masyarakat yang melakukan tindakan tidak disiplin dalam menjalankan peraturan.

Pemerintah DKI Jakarta baru-baru ini merilis data pelanggaran yang dilakukan warganya. Sebanyak 139.201 orang mendapat sanksi karena tidak menggunakan masker selama PSBB transisi periode 5 Juni hingga 3 September 2020. Jumlah tersebut meningkat dibanding data pada 31 Agustus 2020. Saat itu jumlahnya masih 126.000 pelanggar yang tak menggunakan masker (Kompas, September 2020).

Masyarakat yang tidak disiplin justru ingin menunjukan bahwa dirinya lebih memilih memberikan berbagai alasannya dan pembenaran atas kesalahannya, tanpa menyadari bahwa tindakan yang diperbuatnya dapat menyebabkan penanganan Covid-19 semakin lama.

Hal tersebut yang kemudian memaksa pemerintah membuat keputusan untuk menerapkan sanksi sosial dan denda kepada warga yang melanggar. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan keputusan untuk warganya agar tetap tinggal di rumah. Baik untuk bekerja, sekolah, belanja, dan lain sebagainya. Hal ini diberlakukan hingga waktu yang belum ditentukan. Upaya ini ditempuh guna mengurangi risiko penyebaran virus corona.

Di minggu-minggu awal masa karantina, beraktivitas di rumah masih terasa menyenangkan. Namun, setelah lebih dari satu bulan, ancaman kejenuhan mulai dirasakan. Hal yang patut dipertanyakan adalah mungkinkah rasa itu hanya rasa jenuh biasa? Atau bisa dikatakan sebagai gejala cabin fever ?


Cabin Fever

Dosen Program Studi Manajemen Agribisnis Sekolah Vokasi (SV) IPB University, Wien Kuntari, dalam laman resmi IPB, Jumat (30/4/2020) menjelaskan bahwa cabin fever adalah perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama "terisolasi" dan merasa terputus dari “dunia luar”. Gejala cabin fever bukan sekadar merasa bosan/jenuh, tapi juga bisa merasa sedih bahkan depresi.

Hal ini diperkuat oleh Spesialis kedokteran jiwa dr. Hafid Algristian, Sp.KJ. Menurutnya, terdapat lima gejala umum yang muncul pada penderita cabin fever. Pertama adalah gejala demotivasi. Orang yang menderita demotivasi biasanya akan merasa putus asa, kosong, dan kehilangan empati. Pada gejala ini ada baiknya kita tidak memberikan motivasi atau masukan positif karena itu akan sulit diterima oleh penderita. Kedua adalah gejala kognitif, gangguan konsentrasi atau sulit fokus yang membuat seseorang tidak produktif. Ketiga, gejala insomnia-parasomnia yang merupakan gangguan tidur hingga sleep walking. Keempat, gejala psikomotorik atau gangguan energi. Dapat berupa kelebihan energi yang membuat sensitif maupun kekurangan energi. Kelima adalah gejala otonomik atau gangguan buang air besar atau buang air kecil.

***

Peserta didik di masa pandemi Covid-19 ini juga merasakan dampaknya. Mereka turut dipindahkan proses belajarnya dari sekolah ke rumah. Dari yang sebelumnya menempuh belajar tatap muka, sekarang dipindah ke ranah digital. Mereka juga memiliki kemungkinan mengalami gejala cabin fever.

Senin (21/9/2020), melalui Kompas.com, dua pengajar dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, yakni Eirene Christa Luturmas dan Jenitha D. Tonfanus membagikan kiat mereka sebagai pengajar, khususnya mengatasi cabin fever pada anak saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Jenitha selaku pengajar anak usia dini dan sekolah dasar menekankan pada level pembelajaran konkret anak. “Anak-anak di level usia 6 – 9 tahun membutuhkan sesuatu yang konkrit. Jadi bukan gurunya yang ngomong terus, tetapi dikasih kesempatan untuk anak eksplorasi, menunjukan rasa ingin tahunya, dan menemukan sesuatu,” jelas Jenitha.

Jenitha juga menekankan, guru tidak bisa mereplikasikan atau menduplikasi pembelajaran 'offline menuju online'. Guru seharusnya lebih fokus pada pembelajaran prioritas. Eirene dan Jenitha membagikan beberapa ide saat PJJ untuk anak usia dini dan sekolah dasar. Ide tersebut antara lain:

1. Pembukaan Kelas

Membuka pelajaran dengan sapaan yang menyenangkan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan menurut Eirene dan Jenitha. Guru bisa memanfaatkan kesempatan untuk memungkinkan anak bergerak atau membangun relasi jarak jauh.“Ini penting agar mereka tahu, saya ini walaupun tidak bertemu teman secara tatap muka, tetapi saya merasa terhubung dengan teman-teman,” jelas Jenitha. Dia juga biasa mengajak anak-anak ke luar untuk memberitahukan tentang cuaca mereka untuk menekankan aspek eksplorasi.

2. Kegiatan Belajar Mengajar

Eksplorasi dengan dunia sekitar juga bisa dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar dan diletakkan pada bagian pendahuluan, inti, maupun review pembelajaran. “Walaupun dia tidak bertemu teman-temannya secara fisik, tetapi setidaknya pembelajaran itu tidak mengharuskan dia hanya terfokus di satu sudut ruangan di dalam rumah,” tambah Eirene. Misalnya ketika pelajaran ilmu pengetahuan alam, guru bisa meminta anak-anak untuk menaruh air di dalam wadah dan ditaruh ke bawah matahari. Kemudian anak-anak mengukur tinggi air tersebut.

Setelah pembelajaran hampir usai, guru bisa meminta anak untuk mengukur kembali tinggi air di dalam wadah. Dengan begitu, siswa bisa belajar secara langsung proses air yang menguap. Jika anak didik sudah terlanjur malas bergerak dan semangat belajarnya kurang, Eirene menyarankan untuk menerapkan sistem pemberian penghargaan. “Bisa pemberlakukan sistem reward pada anak-anak walaupun dia tidak bergerak seheboh teman-temannya yang lain,” sarannya. (YouTube REFO Indonesia).

Cerita Eirene dan Jenitha sangat inspiratif, mengagumkan. Mereka memiliki semangat untuk membagikan apa yang pernah mereka lakukan di kelas yang bisa membantu anak-anak untuk belajar lebih efektif selama belajar dari rumah. Hal ini bisa menjadi contoh baik untuk para pendidik, mengingat masa pembatasan sosial masih dilakukan sampai waktu yang belum ditentukan, mari terus belajar, dan terus bereksplorasi.



-Jatuh, rapuh, gagal, dan salah akan mengantarkan manfaat di kemudian hari. Pengalamanlah yang akan memastikan bahwa sebagai pengajar, kita menampilkan usaha untuk mempertahankan kemurnian profesi-



Sumber: