psikoedukasi
mengantisipasi peluang generasi alpa
Rico Aditama
26 Agustus 2021Generasi dibentuk oleh peristiwa berdampak. Salah satu peristiwa tersebut adalah pandemi COVID-19 . Dampak pandemi COVID-19 dirasakan secara merata oleh seluruh kalangan. Namun, di tengah peristiwa, harapan tetaplah ada, di antaranya melalui teknologi. Pandemi COVID-19 disebut mempercepat transformasi pendidikan. Meskipun terdapat banyak kendala, pembelajaran dalam jaringan makin berkembang. Perhatian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui pemberian bantuan perangkat Teknologi Informasi Komunikasi (Kemendikbudristek) untuk sekolah dalam program digitalisasi pendidikan merupakan salah satu wujud nyata percepatan transformasi pendidikan. Bantuan yang dianggarkan Kemendikbudristek untuk program tersebut berjumlah Rp3,7 triliun (Kompas, 4/8/2021). Sekitar 500.000 laptop, proyektor, dan pelantang suara pun akan dibagikan ke 29.387 sekolah. Prioritasnya adalah sekolah penggerak yang masih kekurangan peralatan teknologi informasi dan komunikasi.
Di era pandemi saat ini, digitalisasi pendidikan menjadi tuntutan, dan perhatian kepada anak-anak pemilik masa depan tetaplah menjadi prioritas. Digitalisasi turut memberi dampak terhadap karakter generasi pada masanya. Secara singkat, pengelompokan generasi dapat diketahui berdasarkan tahun lahir. Generasi Baby Boomers (setelah perang dunia II sampai 1960), generasi X (tahun 1961-1987), Generasi Milenial (tahun 1988-1996), Generasi Z (tahun 1997-2009), dan Generasi Alfa (tahun 2010-sekarang). Setiap generasi memiliki perbedaan cara pandang, gaya, pemberian umpan balik, hingga penghargaan tentang suatu kejadian. Oleh sebab itu, persoalan menyangkut sumber daya manusia (SDM) dan penanganan konflik antar generasi perlu diantisipasi.
Menurut McCrindel, dalam Generation Alpha:Understanding Our Children & Helping Them Thrive, generasi alfa adalah istilah khusus untuk kategori anak-anak yang lahir tahun 2010 dan setelahnya. Arti Alfa merujuk pada kebaruan, berdasarkan alfabet Yunani, dan nama Alfa dipilih sebagai kelanjutan generasi sebelumnya, Generasi Z. Selanjutnya, Erfan Gazali menyatakan Generasi Alfa akan bermain, belajar, dan berinteraksi dengan teknik baru. Maka, ketika mereka dewasa, teknologi menjadi bagian hidup yang akan membentuk pengetahuan, pengalaman, sikap, perilaku, dan impian terhadap dunia. Generasi Alfa lahir tahun 2010 dan setelahnya. Gennerasi Alfa dianggap sebagai generasi digital sejati. Mengutip dari Mohammad Yasin, Dosen Universitas Negeri Malang, angka kelahiran Generasi Alfa setiap minggu mencapai 2,5 juta. Diperkirakan tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 2,5 milyar. Saat ini, usia tertua Generasi Alfa 11 tahun. Dalam setiap langkah, mereka beranjak dari masa pertumbuhan ke pembentukan pribadi, kemudian mereka menyimpan memori tentang satu peristiwa besar yang dilaluinya secara naluri (ingin tahu).
Pembentukan Generasi Alfa juga tak lepas dari perubahan akses pendidikan yang dilakukan dari rumah karena adanya pandemi COVID-19. Perubahan yang terjadi selama lebih satu tahun ini membentuk suatu habitus baru dalam diri mereka. Habitus yang diakibatkan oleh pandemi panjang ini menjadikan mereka sebagai remaja resiliens, juga mudah belajar hal baru. Namun sayangnya, beban kesehatan mental turut mengiringi perkembangan tersebut.
Dalam website www.parenting.co.id/balita/cara-mendidik-anak-generasi-alfa ditemukan ciri-ciri Generasi Alfa, di antaranya generasi ini sudah hidup dengan teknologi yang pesat sejak lahir, bahkan mampu mengoperasikan gawai hanya dengan mengenali tombol-tombolnya. Christine Carter, seorang ahli strategi, menyampaikan kemajuan teknologi akan terus memengaruhi mereka, mulai gaya belajar, materi yang dipelajari di sekolah sampai dengan pergaulan mereka setiap harinya. Ruang dan waktu mereka kenali sebagai hal yang tidak membatasi dan semua yang mereka dapat semakin menjadikan mereka terlihat cerdas ketimbang generasi sebelumnya. Alhasil, karakter yang akan menonjol pada Generasi Alfa ini adalah kemampuan dan kecakapan di bidang teknologi. Namun demikian, tetap ada risiko nilai-nilai karakter yang terkikis jika tidak diantisipasi.
Salah satu risiko tersebut adalah kurangnya perhatian terhadap sekitar akibat kecanduan gawai. Menurut dr. Veranita Pandia Sp.KJ(K), spesialis kesehatan jiwa RSUP dr. Hasan Sadikin, ciri-ciri anak kecanduan gawai ialah anak jadi malas bergerak, sulit diajak interaksi, malas bersosialisasi, dan mudah marah apabila keinginan tidak tercapai. Hal tersebut karena, ketidakseimbangan pertumbuhan otak. Saat anak menggunakan gawai secara berlebih, yang berkembang adalah otak samping (lobus temporal), sedangkan otak bagian depan (lobus frontal) cenderung tidak bergerak. Hal tersebut mengakibatkan anak akan terlalu cepat bertindak tanpa mempertimbangkan akibat secara matang, tidak peduli, dan cenderung cepat marah.
Melalui beberapa risiko di atas, ada beberapa alternatif yang dapat ditawarkan untuk mengantisipasi yakni dengan tetap mengkolaborasikan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Bukan sebaliknya, yakni berkompetisi. Keluarga menampilkan dengan memberi pembimbingan dan menyediakan waktu untuk mendukung serta menemani anak. Kemudian, sekolah hadir sebagai penghubung antara orang tua dengan masyarakat, utamanya dalam menguatkan pendidikan. Kedua hal ini dapat menanamkan penanaman karakter, baik dalam kegiatan pembelajaran maupun di luar kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dengan menanamkan nilai-nilai moral yang universal (tanggung jawab, toleransi, kerja sama, persatuan, cinta, dan kedamaian), supaya saat di luar kegiatan pembelajaran, mereka tidak melihat dan membeda-bedakan suku, agama, dan budaya. Keseluruhan proses dan penanaman tersebut diharapkan mampu mengembangkan keterampilan pribadi, sosial, dan emosional Generasi Alfa.
Generasi Alfa telah belajar banyak mengenai proses perubahan dan kolaborasi. Mereka telah melihat dan mengalami sendiri suatu bentuk kolaborasi yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Oleh sebab itu, penekanan kata kolaborasi perlu ditampilkan dengan penanaman nilai-nilai moral universal yang layak untuk membangun Generasi Alfa di era digital. Kolaborasi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus bekerjasama untuk membangun karakter generasi masa kini dan masa depan.
Referensi:
Erfan Gazali, Pesantren Di Antara Generasi Alpha Dan Tantangan Dunia Pendidikan Era Refolusi Industri 4.0. “Oasis: Jurnal Ilmiah Kajian Islam, no 2 (2018): 96.
Kompas, Kemendikbudristek Anggarkan Rp.3,7 Triliun untuk Laptop hingga peralatan TIK, 4 Agustus 2021.
Sumber Daring:
http://web.rshs.or.id/hindarkan-generasi-alfa-dari-kecanduan-gawai/
https://komnasdikkediri.or.id/tag/generasi-alpha/
www.parenting.co.id/balita/cara-mendidik-anak-generasi-alfa